Meranking 10 Comeback TERBAIK Liga Champions - Dari Barcelona Sampai Liverpool

Champions League comebacks GFX
Getty/GOAL
Liverpool, Barcelona, Manchester United, dan AS Roma menjadi beberapa nama yang berhasil melawan kemustahilan di malam-malam magis Eropa.

Jumlah comeback dramatis nan mustahil di Liga Champions meledak dalam beberapa tahun terakhir. Elite-elite Eropa seolah tak lagi mengenal kata 'menyerah' di kamus mereka, klub-klub seperti Liverpool, Barcelona, dan Real Madrid mengacak-acak keuangan para bandar judi dengan perlawanan yang tak akan pernah dilupakan fans mereka.

Suporter Chelsea memang sudah dibangunkan dari mimpi siang bolong mereka setelah dilumat sang juara bertahan, tetapi loyalis Bayern Munich masih memegang asa tim kesayangan mereka bisa masuk ke daftar ini saat menjamu Manchester City di leg kedua perempat-final edisi 2022/23.

GOAL menilik 10 kemenangan paling dramatis dalam sejarah Liga Champions, yang mungkin bisa menjadi sumber harapan bagi fans The Bavarians...

  1. Real Madrid 3-1 Manchester City (agregat 6-5 setelah babak tambahan)
    Getty Images

    #10 Real Madrid 3-1 Manchester City (agregat 6-5 setelah babak tambahan)

    Real Madrid dipercaya sudah menggesek habis 'voucher keajaiban' mereka ketika gol menit 73 Riyad Mahrez membawa Manchester City unggul agregat 5-3 di semi-final Liga Champions 2021/22.

    Di babak 16 besar, hat-trick 17 menit Karim Benzema berhasil memutarbalikkan defisit dua gol untuk melangkahi Paris Saint-Germain, sementara di perempat-final Los Blancos hanya berjarak 10 menit dari eliminasi sebelum umpan magis Luka Modric serta (lagi-lagi) Benzema menyelamatkan mereka di babak tambahan.

    Namun, ternyata aksi paling dramatis mereka justru masih tersimpan, dan baru dikeluarkan saat mengadapi The Citizens asuhan Pep Guardiola. Setelah gol Mahrez, Madrid butuh DUA gol untuk memaksa laga berlanjut ke babak tambahan. Menit demi menit terbuang, dan asa mulai redup di Santiago Bernabeu.

    Lalu, Rodrygo datang. Di menit ke-90, winger Brasil itu menceploskan bola di depan Ederson, meneruskan umpan Benzema menjadi gol. Hanya beberapa detik kemudian, Madrid mencetak gol lagi. Rodrygo. Lagi. Melompat tinggi untuk menanduk crossing Dani Carvajal.

    Raungan Bernabeu pecah, para pemain menggila, dan Madrid pun menunggangi momentum ini untuk menuju ke final, setelah penalti Benzema mengamankan tiket partai pamungkas melawan Liverpool.

  2. PSG 1-3 Manchester United (agregat 3-3, Man Utd menang via gol tandang)
    Getty

    #9 PSG 1-3 Manchester United (agregat 3-3, Man Utd menang via gol tandang)

    Manchester United dihabisi Paris Saint-Germain di Old Trafford, di leg pertama 16 besar Liga Champions 2018/19.

    Kylian Mbappe menjadi bintang utama setelah absennya Neymar, dan United beruntung cuma kalah 2-0, meski diperparah kartu merah Paul Pogba di menit akhir.

    Namun, meski Marcus Rashford dan Romelu Lukaku tak selalu nyetel, kadang mereka bisa menjadi duet yang meneror seantero Eropa.

    Dan itu yang terjaid di Parc des Princes. Lukaku-lah yang pertama memberi United secercah harapan dengan brace di babak pertama, meski PSG turut masuk papan skor lewat Juan Bernat.

    Tahith Chong dimasukkan dari bangku cadangan, dan Ole Gunnar Solskjaer mempercayakan nasib timnya ke pundak para pemuda, yang berhasil membuat titan-titan pengalaman seperti Gianluigi Buffon, Thiago Silva, dan Dani Alves ketar-ketir.

    Di menit 89, Diogo Dalot melepaskan tembakan jarak jauh yang dibelokkan Presnel Kimpembe menjadi tendangan sudut – namun, usai melalui peninjauan berkepanjangan, VAR mendakwanya sebagai handball, dan tim tamu mendapat penalti di menit ke-94.

    Rashford, waktu itu baru menginjak 21 tahun, mengemban tanggung jawab menghadapi salah satu kiper terbaik yang pernah ada, dan menghunjam tendangan titik putihnya ke pojok kiri atas. Neymar cuma bisa melongo dari tribun. Bagi fans Man United, meski cuma sesaat, itu adalah masa-masa mereka merasa kembali ke era kejayaan.

  3. Chelsea 4-1 Napoli (agregat 5-4 setelah babak tambahn)
    Getty

    #8 Chelsea 4-1 Napoli (agregat 5-4 setelah babak tambahn)

    Chelsea kacau balau ketika mereka dipermalukan Napoli 3-1 di 2012.

    Andre Villas-Boas, didatangkan sebagai salah satu pelatih muda terbaik dunia, layu.

    Satu kaki melewati pintu keluar Liga Champions (serta performa liga yang ampas), The Blues memecat AVB dan menunjuk legenda era 90-an yakni Roberto Di Matteo, yang pengalaman melatihnya saat itu cuma di MK Dons dan West Brom.

    Di Matteo menyulap Chelsea, dan membalikkan keadaan.

    Trio pilar senior Chelsea - Didier Drogba, John Terry, Frank Lampard - mencetak gol untuk memaksakan laga ke babak tambahan menyusul gol Gokhan Inler, sebelum Branislav Ivanovic mengonversi crossing Drogba untuk memenangkan pertandingan di perpanjangan waktu.

    Chelsea mengalahkan Benfica di perempat-final sebelum meraih kemenangan terkenal atas Barcelona di semi-final, dan mengangkat Si Kuping Besar untuk pertama kalinya usai menaklukkan Bayern Munich di kandang mereka sendiri.

    Di Matteo dipecat pada November 2012, tetapi tak banyak manajer yang bisa mengklaim pernah mewujudkan keajaiban hanya dalam jangka waktu pendek.

  4. Manchester United 2-1 Bayern Munich
    Getty

    #7 Manchester United 2-1 Bayern Munich

    Ole Gunnar Solskjaer senang membahas final tahun 1999, dan memang ada alasannya.

    Di depan 90.000 pasang mata di Camp Nou, gol perekik Mario Basler di menit keenam nampak akan memberi Bayern Munich trofi Piala Eropa pertama mereka di era Liga Champions, setelah terakhir memenangkannya pada 1976.

    Bayern memimpin skor selama 84 menit dari 90 menit waktu normal, sebelum United melakukan salah satu comback terhebat di panggung final.

    Sepak pojok David Beckham gagal disapu, dan Teddy Sheringham membelokkan tembakan Ryan Giggs untuk merampas kemenangan dari pelukan raksasa Jerman itu.

    Hanya beberapa detik setelahnya, United kembali mendapat sepak pojok. Beckham lagi yang menendangnya, Sheringham menanduknya, dan Solskjaer menceploskannya melewati kawalan Oliver Kahn.

    Kedua gol itu cuma terpaut 101 detik. Empat hari sebelum final tersebut, pasukan Sir Alex Ferguson sudah mengangkat Piala FA, mengwainkannya dengan gelar Liga Primer Inggris. Sampai saat ini, treble legendaris Setan Merah belum bisa disamai di kancah sepakbola Inggris.

  5. Deportivo La Coruna 4-0 AC Milan (agregat 5-4)

    #6 Deportivo La Coruna 4-0 AC Milan (agregat 5-4)

    Menghadapi sang kampiun Eropa, Deportivo sudah membikin kejutan saat unggul duluan di leg pertama di Milan pada edisi 2003/04.

    Namun Rossoneri menunjukkan status mereka sebagai raksasa dan menghajar balik lawan mereka, meraih kemenangan 4-1 di San Siro. Milan pun sudah bersiap menyambut semi-final. Saat itu, belum ada sejarahnya tim yang mampu comeback dari defisit tiga gol untuk memenangkan sebuah partai Liga Champions.

    Tapi Deportivo tak peduli. Kedudukan mereka sudah seimbang sebelum separuh main di leg kedua.

    Walter Pandiani, Juan Carlos Valeron, dan Albert Luque masuk papan skor saat tim Spanyol tersebut membuat AC Milan tunggang-langgang, sebelum Fran memenangkannya di babak kedua setelah sepakannya dibelokkan Cafu.

    Rui Costa nyaris menyelamatkan Milan dari hasil memalukan dengan tembakan jarak jauh di menit akhir, tapi Jose Molina melakukan penyelamatan gemilang untuk mempertahankan keunggulan Herculinos dan melaju ke empat besar.

    Pelatih Deportivo, Javier Irureta, berdoa diberi mukjizat dan mendapatkannya. Ia pun menepati nazarnya, dan kemudian berziarah ke Santiago de Compostela sebagai rasa syukurnya.

  6. AS Roma 3-0 Barcelona (agregat 4-1)
    Getty

    #5 AS Roma 3-0 Barcelona (agregat 4-1)

    AS Roma dicabik-cabik dengan skor 4-1 di Barcelona pada leg pertama perempat-final edisi 2017/18, bahkan mencetak dua gol bunuh diri yang membantu raksasa Catalunya tersebut. Namun, gol tandang krusial Edin Dzeko memberi mereka secercah harapan.

    Meski bukan pencetak gol kemenangan, striker besar Bosnia itu berperan penting dalam salah satu malam terbesar bagi Roma.

    Ia menceploskan bola melewati Marc-Andre ter Stegen di menit awal, sebelum memenangkan penalti yang dikonversi Daniele de Rossi dan defisitnya sudah kurang dari separuh setelah turun minum.

    Stadio Olimpico meraung dan Barca tak berdaya, Kostas Manolas, pencetak gol bunuh diri kedua di Camp Nou, menanduk sepak pojok Cengiz Under dan mengarahkannya dengan sempurna ke tiang jauh untuk membawa Roma unggul gol tandang. Seperti kata Peter Drury, Dewa Yunani turun ke Roma malam itu.

    Satu peluang terakhir jatuh ke kaki Lionel Messi. Ia melenggak-lenggok di kerumunan kotak penalti namun gagal mengontrol bola sehingga sepakannya tertahan lengan kiper Roma Alisson – yang di masa depan ternyata kembali menjadi salah satu mimpi buruk bagi Blaugrana.

  7. Ajax 2-3 Tottenham (agregat 3-3, Tottenham menang via gol tandang)
    Getty

    #4 Ajax 2-3 Tottenham (agregat 3-3, Tottenham menang via gol tandang)

    Ini satu comeback yang rasanya muncul begitu saja tanpa ada peringatan. Tottenham didominasi Ajax di sepanjang leg pertama semi-final edisi 2018/19, dan di sebagian besar leg kedua. Mereka sudah tertinggal agregat 3-0 saat turun minum leg kedua, dan tak ada Harry Kane untuk menyelamatkan pasukan Mauricio Pochettino.

    Ajax sudah mengalahkan Real Madrid dan Juventus sebelumnya, dan nampak akan melakoni partai final kelas berat melawan Liverpool. Namun masuknya Fernando Llorente di babak kedua mengubah pertandingan, dengan penyerang Spurs lainnya bertumpu padanya.

    Umpan Dele Alli membebaskan Lucas Moura, yang melepaskan sepakan kaki samping untuk memperkecil ketinggalan hanya 10 menit setelah interval. Winger Brasil itu lalu menunjukkan ketenangannya, menemukan ruang di kotak penalti yang penuh sesak, dan mencetak gol kedua tak lama kemudian.

    Hakim Ziyech menggetarkan tiang Hugo Lloris dengan 12 menit tersisa sebelum Jan Vertonghen, jebolan akademi Ajax, balas mengenai mistar bekas timnya.

    Anak asuh Erik ten Hag yang dipenuhi darah muda pun mulai merasakan tekanan dari sejarah panjang nan membanggakan Ajax di Eropa, dan akhirnya menyerah juga.

    Di detik-detik terakhir injury time, bola dilambungkan Spurs ke depan, dijatuhkan Llorente, diteruskan oleh Alli, sebelum Lucas melengkapi hat-tricknya dengan sepakan yang mengarah ke pojok gawang Andre Onana.

    Pochettino berselebrasi seperti seseorang yang baru saja memimpin Tottenham meraih malam terbesar sepanjang sejarah mereka, dan memang itulah yang terjadi.

  8. Liverpool 4-0 Barcelona (agregat 4-3)
    Getty

    #3 Liverpool 4-0 Barcelona (agregat 4-3)

    Lionel Messi tahu kapan pekerjaan belum selesai. Ketika Barcelona unggul 3-0 di kandang, sang GOAT kolaps ke tanah penuh penyesalan melihat tendangan Ousmane Dembele cuma bergerak lemah ke pelukan Alisson, gagal mengonversi peluang emas pemberiannya.

    Barca saat itu memiliki tulang punggung tim yang semenjana, dan pemain terbaik mereka sadar betul soal itu. Bahkan setelah penampilan individu yang mendominasi, di mana ia mencetak salah satu gol tendangan bebas terbaik yang pernah ada, Messi seolah menyimpan keraguan di lubuk hati paling dalam saat ia menginjakkan kaki ke rumput Anfield di leg kedua semi-final 2018/19.

    Divock Origi, cult hero Liverpool di momen-momen terbesar, mencetak gol cepat untuk membawa pasukan Jurgen Klopp unggul di babak pertama, tetapi mereka masih butuh dua gol lagi.

    "Kita bikin gol, Liverpool bakal butuh LIMA - dan paling tidak kita bakal cetak satu gol... ya kan?" adalah cuitan dari akun Twitter resmi Barcelona.

    Salah besar. Pemandangan Georginio Wijnaldum beranjak dari bangku cadangan akan selalu menjadi legenda yang dikenang fans Liverpool, setelah ia menyamakan kedudukan dengan dua gol dalam tiga menit.

    Barca pun mulai runtuh, borok mereka terbuka, Messi terpenjara, rekan-rekannya layu satu demi satu, dan Liverpool memenangkan satu sepak pojok. Trent Alexander-Arnold, dengan kilatan ilham kecerdikan, menendangnya dengan cepat, dan Origi menyelesaikannya ke dalam atap gawang Ter Stegen.

    Anfield pecah.

  9. Barcelona 6-1 PSG (agregat 6-5)
    Getty

    #2 Barcelona 6-1 PSG (agregat 6-5)

    Pada 2017, Barcelona di ambang gagal melaju ke perempat-final Liga Champions untuk pertama kalinya dalam satu dekade setelah dipermalukan 4-0 di Paris.

    Ini adalah hasil yang menjadi sinyal pergeseran hegemoni – sang OKB (Orang Kaya Baru) menghabisi salah satu raksasa tradisional sepakbola, dan menabuh genderang perang ke penjuru Eropa bahwa ambisi besar mereka nyata adanya.

    Comeback dari skor 4-0 tak pernah sekalipun terjadi di Liga Champions/Piala Eropa dalam 213 percobaan, namun gol pembuka Luis Suarez di menit awal membuat Camp Nou berharap.

    Gol bunuh diri konyol Layvin Kurzawa dan penalti Lionel Messi semakin menebalkan harapan tersebut, sebelum Edinson Cavani menghunjamkan gol tandang indah dan meredam asa tuan rumah. Ini artinya, Barca butuh tiga gol tambahan.

    Cavani dan Angel Di Maria masing-masing melewatkan peluang emas yang harusnya bisa mengakhiri kontes ini, dan mereka membayarnya dengan sangat mahal. Suarez dan Messi memang sudah berkontribusi, tapi ini adalah malamnya Neymar.

    Tendangan bebas ciamik di menit ke-88, penalti di menit ke-91, dan umpan lambung indah untuk Sergi Roberto, yang memenangkannya di menit ke-95. Dengan kehadiran 'MSN', jangan pernah remehkan Barcelona. Dan ini adalah senyata-nyatanya remontada.

  10. AC Milan 3-3 Liverpool (Liverpool menang 3-2 via adu penalti)
    Getty

    #1 AC Milan 3-3 Liverpool (Liverpool menang 3-2 via adu penalti)

    Banyak yang merasa Keajaiban Istanbul sudah tak layak berada di nomor satu. Semakin banyak comeback-comeback dari defisit yang lebih besar, yang tak perlu babak tambahan, atau bahkan adu penalti.

    Tapi, laga ini adalah comeback-nya segala comeback. Semua comeback diukur dan akan selalu dibandingkan dengan satu laga ini.

    Salah satu kota terbesar di Turki ini pertama berdiri sekitar 2600 tahun yang lalu, dan menjadi rumah bagi lebih dari 15 juta penduduk – tapi, coba ucapkan kata "Istanbul" di hadapan fans sepakbola mana pun, dan imaji pertama yang hinggap di benak mereka adalah pemandangan Xabi Alonso mencetak gol dari rebound penalti, pemandangan kaki Jerzy Dudek yang bergoyang di final Liga Champions 2005.

    Tim AC Milan malam itu adalah tim premium yang berisikan legenda-legenda 2000-an, dan gol menit pertama Paolo Maldini semakin membuktikan itu. Ditambah brace Hernan Crespo, pertandingan sudah mati di babak pertama.

    Ah, tapi pembaca sekalian sudah hafal sisanya. Gerrard, Smicer, Alonso, sampai Shevchenko dan Dudek.

    Hasil yang mengejawantahkan bahwa DNA The Reds adalah malam-malam magis Eropa, dan memastikan bahwa tak akan ada lagi fans Liverpool yang sudi menyerah sebelum peluit panjang ditiupkan.